BERITA mengejutkan muncul ketika LSI Kuskrido merilis hasil survei terakhirnya Kamis, 15 Desember 2016 yang menyatakan bahwa elektabilitas Ahok naik lagi menjadi 31,8 persen, paling atas mengungguli Agus-Silvi 26,5 persen, dan Anis-Sandi 23,9 persen.
Sangat mengejutkan karena survei ini dilakukan pada tanggal 3-11
Desember 16, dimana sudah diumumkan rencana diadakannya sidang perdana
kasus Ahok. Malahan karena diperkirakan pengunjungnya akan membludak,
sempat dipikirkan sidang perdana Ahok digeser di Cibubur.
Rilis survei LSI Kuskrido juga sangat mengejutkan karena sejak puncak
elektabilitas Ahok yaitu Maret 16 sebesar 59,3%, karena kata-kata kasar
dan kekejamannya kepada rakyat kecil di saat penggusuran dan nelayan di
saat reklamasi pulau G, maka pada bulan-bulan berikutnya terus menurun.
Apalagi setelah terjadi kasus penistaan agama pada 27 September 16 yang
kemudian mengakibatkan adanya demo ratusan ribu rakyat pada 14 Oktober
16, lebih dari satu juta rakyat pada 4 November 16 dan pada 2 Desember
2016.
Besarnya massa rakyat yang mengikuti demo-demo tersebut menjukkan adanya
kemarahan rakyat terhadap Ahok yang memuncak. Karena itu sangat logis
bila hasil survei LSI Denny JA yang dilakukan pada tanggal 31 Oktober-5
November 16 dimana Ahok belum tersangka tetapi pertanyaannya apabila
Ahok menjadi tersangka, maka elektabilitas Ahok anjlok dari hasil survei
sebelumnya 24,6% menjadi hanya 10,6%.
Di lain pihak survei yang dilakukan oleh LSI Kuskrido yang dilakukan
pada 3-11 Desember dimana belum dilangsungkan sidang pertama Ahok tetapi
sudah diumumkan rencana sidang pertamanya, artinya status Ahok sudah
pasti akan ditingkatkan menjadi terdakwa dan pasti statusnya akan
diberhentikan sementara sebagai Gubernur DKI, justru elektabilitas Ahok
naik kembali. Ini sangat tidak logis.
Memang kita tidak mudah untuk menyebutkan bahwa ada lembaga-lembaga
survei yang bersikap pragmatis, menjual angka-angka survei sesuai dengan
kehendak yang membayarnya. Namun masyarakat masih mempunyai akal sehat
untuk menilai mana lembaga survei yang bisa dipercayai atau yang ada
unsur manipulatifnya.
Di lain pihak sangat santer beredar rumor bahwa Ahok akan dipaksakan
untuk menang Pilkada DKI satu putaran oleh kelompok politik tertentu dan
kelompok kapital besar di belakangnya.
Mereka akan menempuh berbagai cara antara lain adalah dengan menaikkan
elektabilitas Ahok melalui beberapa lembaga survei. Lembaga survei
selain akan memanipulasi se-olah-olah elektabilitas Ahok naik, juga
mencarikan alasan-alasan supaya kenaikannya terlihat logis
setidak-tidaknya bagi masyarakat yang tidak terlalu kritis.
Yang kedua bila dimungkinkan melalui penggandaan DPT palsu yang
ditemukan oleh Bawaslu DKI sampai dengan 650 ribu, hampir 10% dari
jumlah pemilih yang 7 juta, sehingga jumlah pemilih Ahok bisa meningkat
sekian persen.
Yang ketiga adalah melalui peningkatan iklan-iklan yang secara tidak
langsung mendukung Ahok dan sorotan-sorotan kegiatannya di media massa,
tv, medsos, maupun media cetak utama. Yang keempat melalui quick count.
Yang kelima bila dimungkinkan melalui perpanjangan masa sidang Ahok
sehingga vonisnya bisa melampaui tanggal 15 Februari 2017, tanggal
pencoblosan Pilkada DKI. Yang keenam melalui oknum atau aparat KPU DKI
dan sistim Teknologi Informasinya.
Karena itu masyarakat harus sangat waspada dengan adanya
kemungkinan-kemungkinan kecurangan dalam pelaksanaan Pilkada DKI guna
memenangkan Ahok satu putaran. Perlu diingatkan bahwa masih ada
kasus-kasus pidana Ahok yang sama sekali belum diproses tetapi sedang
dipelajari KPK. Kasus itu adalah diskresi (kebijakan) Ahok yang meminta
agar pengembang reklamasi membangun rusunawa dengan menggunakan uang
pengembang sendiri (bukan uang APBD DKI ) dan nantinya dijanjikan akan
diperhitungkan dalam kontribusi tambahan reklamasi padahal Perda DKI-nya
belum ada, tidak masuk APBD DKI, jadi tidak ada dasar hukumnya.
Ini melanggar UU Perbendaharaan8i Negara karena itu merupakan tindak
pidana. Dari kesaksian Ariesman Wijaya, Dirut anak perusahaan Agung
Podomoro dalam persidangan Muhammad Sanusi di Pengadilan Tipikor,
menyatakan bahwa perusahaan telah mengeluarkan Rp 1,6 triliun untuk
membangun rusunawa dan lain-lain, akibat diskresi dari Ahok tersebut.
Di pulau reklamasi C dan D juga sudah banyak ruko-ruko yang belum ada
IMB-nya. Tetapi Ahok tidak berani menggusur, karena akan merugikan
pengembang reklamasi, tetapi hanya merencanakan untuk mendenda. Sangat
berbeda perlakuan bila menghadapi rakyat kecil, pasti langsung menggusur
dengan menggunakan TNI-Polri. Sangat kejam kepada rakyat kecil dan
takut kepada pengembang.
[beritaislam24h.net / rmol]
loading...