Kepada penyidik, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu membantah
bahwa dirinya pernah memberikan keterangan penangkapan teroris merupakan
pengalihan isu. Oleh karena itu, ia memberikan waktu selama 1x24 jam
terhadap 7 media online yang menulis pernyataannya karena dianggap telah
melakukan wawancara imajiner.
Pemanggilan Eko oleh Bareskrim pun menuai kontra, sebagaimana
diungkapkan pengamat Hukum dari Universitas Indonesia (UI) Chudri
Sitompul. Menurutnya, pemanggilan Eko Patrio terlalu berlebihan.
Pasalnya, selain memiliki hak imunitas sebagai anggota parlemen, Eko
Patrio juga berhak menyampaikan kritikannya kepada pemerintah lantaran
profesinya sebagai seorang politisi.
"Saya kira hak politisi itu menyampaikan kritikan. DPR juga punya hak
imunitas kalau ada gelagat mau membuat keonaran baru boleh dipanggil
kalau hanya menyampaikan pernyataan seperti itu jika pun benar itu
berlebihan," kata Chudri saat berbincang dengan Okezone, Minggu
(18/12/2016).
Menurut Chudri, pemanggilan Eko Patrio juga terburu-buru dan melangkahi
prosedur yang ada di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan seizin
presiden. Terlebih, pengawasan tugas jalannya pemerintahan juga
merupakan bagian kerja dari anggota DPR.
"Kalau pun memang Eko menyatakan itu, pemanggilannya juga terlalu
buru-buru dan mestinya ada prosedurnya. Karena sebagai politisi memang
tugasnya mengkritisi dan mengawasi jalannya pemerintahan," jelas Chudri.
Chudri Sitompul enggan membandingkan kinerja kepolisian era Presiden
keenam Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Presiden Joko
Widodo (Jokowi). Namun, ujar dia, era Presiden SBY tidak pernah ada
pemanggilan kepada politisi yang melakukan kritik tajam terhadap
jalannya pemerintahan.
"Bandingkan dengan era Pak SBY tidak ada politisi PDIP yang dipanggil
polisi karena memberikan kritik tajam karena dia oposisi. Padahal, ada
kritikan dengan istilah negara autopilot," tukasnya.
[beritaislam24h.net / ozc]
loading...