Belajar dari kesalahan itu dimulai dari kerendahan hati, menyadari ketidaktahuan, lalu pengakuan, setelah itu Allah akan memberi taubat dan ilham dari kasih sayang-Nya
Begitulah yang Allah ajarkan pada kita dari kisah Nabi Adam, yang secara sadar mengakui kesalahannya, yang sebab itu diperoleh dua hal, ampunan dan rahmah dari Allah
Tapi kesombongan itu membutakan akal, meniadakan simpati, dan mulai merendahkan orang lain, menolak kebenaran walau nyata, dan sibuk mencari-cari alasan pelarian
Begitulah syaitan memberi contoh buruk untuk kita hindari, bahwa penyembah Allah pun bisa terperosok jurang arogan, apatah lagi yang tak kenal dan mengakui Allah?
Angkuh sesumbar meracau banjir takkan terjadi, nyatanya banjir mengepung ibukota, tapi sudah siapkan escape goat, salahkan yang lain, "itu pasti sabotase, itu mesti kiriman"
Kaum maya bayaran pun tak kalah galaknya, lalu membela tuannya "Lu cuma kritik, apa yang sudah lu buat?". Dia seolah hilang ingatan, penguasa bukan kita, mengapa kita yang ditanya?
Pertanggunggan itu milik semua yang diberi amanah, sedang nasihat-menasihati itu kunci dalam kebaikan, tapi rezim anti-kritik memang hanya ingin dengar yang baik-baik
Kita semua tahu, banjir di Jakarta memang bukan masalah hari ini saja, ini komplikasi, beragam masalah bertumpuk sejak dulu, perlu waktu dan kebersamaan menyelesaikannya
Hanya saja, yang kita soroti adalah angkuhnya komunikasi, jumawa yang menjulang, kelakuan arogan dan karakter yang selalu mencari-cari alasan dalam tiap kesalahan
Tak harus Muslim, tak harus salih untuk atasi banjir. Jepang, Belanda, bahkan Yunani dan Romawi kuno sudah melakukannya, asal mau belajar dari kesalahan, bukan menyalahkan
Tapi, yang kita cari bukan hanya kenyamanan hidup, tapi keberkahan dan kebahagiaan hidup di dunia. Dan itu hanya bisa dicapai dengan menaati Allah Swt
Dan Allah mewajibkan kita pemimpin Muslim yang menerapkan Islam. Bila sudah begitu, bukan hanya banjir air yang hilang, tapi banjir berkah langit bumi yang mewujud [Facebook Ustadz Felix Siauw]
loading...